Sabtu, 26 Februari 2011

Dunia Farmasi

Bidang farmasi  berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya, pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker sebagai penanggung jawab apotek, dengan pesatnya perkembangan ilmu  kefarmasian maka apoteker atau dikenal pula dengan sebutan farmasis, telah dapat menempati bidang pekerjaan yang makin luas.
Apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium pengujian mutu, laboratorium klinis, laboratorium forensik,  berbagai jenis industri meliputi industri obat,  kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal,  health food,  obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi kesehatan adalah tempat-tempat untuk farmasis melaksanakan pengabdian profesi kefarmasian.
Pelayanan obat kepada penderita melalui  berbagai tahapan pekerjaan meliputi diagnosis penyakit, pemilihan, penyiapan  dan penyerahan obat  kepada penderita yang menunjukkan suatu interaksi antara dokter, farmasis, penderita sendiri dan khusus di rumah sakit melibatkan perawat.  Dalam pelayanan kesehatan yang baik, informasi obat menjadi sangat penting terutama informasi dari farmasis,  baik untuk dokter, perawat dan penderita.

Pengembangan obat
Sejarah penggunaan obat
Pada mulanya penggunaan obat dilakukan  secara empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman dan  selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat   perlu pengetahuan kandungan zat  aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya. 

Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan. Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.  Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037)  telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik. Johann Jakob  Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi  efek farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :
”I pondered at length, finally I resolved to clarify the matter by experiment”. 
Ia  adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan.  Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang  sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat  diuji–coba  secara klinik pada manusia. 

  Institut Farmakologi pertama didirikan pada th 1847 oleh Rudolf Buchheim (1820-1879) di Universitas Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald Schiedeberg (1838- 1921) bersama dengan  pakar disiplin ilmu lain menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat  meliputi reseptor obat, hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer  (1852-1921) di Scotlandia, J.
Langley (1852-1925) di Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di Jerman.

Sumber obat
Sampai akhir abad 19, obat merupakan  produk organik atau anorganik dari tumbuhan yang dikeringkan atau segar, bahan hewan atau mineral  yang aktif dalam penyembuhan penyakit tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik bila dosisnya terlalu tinggi atau pada kondisi tertentu penderita Untuk menjamin  tersedianya obat agar tidak tergantung kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengeringan. Contoh tumbuhan yang dikeringkan pada saat itu adalah getah  Papaver somniferum  (opium mentah) yang sering dikaitkan dengan obat penyebab ketergantungan dan ketagihan.

Dengan mengekstraksi getah tanaman tersebut dihasilkan berbagai senyawa yaitu morfin, kodein, narkotin (noskapin), papaverin dll. yang ternyata memiliki efek yang berbeda satu sama lain walaupun dari sumber yang sama  Dosis tumbuhan kering dalam pengobatan ternyata sangat bervariasi tergantung pada tempat asal tumbuhan, waktu panen, kondisi dan lama penyimpanan. Maka untuk menghindari variasi dosis, F.W.Sertuerner (1783-1841) pada th 1804 mempelopori isolasi zat aktif dan memurnikannya dan secara terpisah dilakukan sintesis secara kimia. Sejak itu berkembang obat sintetik untuk berbagai jenispenyakit.

Pengembangan obat baru
Pengembangan  bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi  dari berbagai sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia (choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan  human insulin untuk menangani penyakit diabetes. Dengan  mempelajari
hubungan struktur obat dan aktivitasnya  maka pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular. 

Setelah diperoleh bahan calon obat, maka  selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan  pemberi izin. Biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia  sampai diperoleh obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah  uji praklinik dan uji klinik.

Uji praklinik 
merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor  dengan kultur sel terisolasi atau  organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan  yang baku  digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster,  anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan  ini sangat berjasa bagi pengembangan obat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar